Selasa, 10 April 2012

menganyam rotan


Penganyam Rotan dari Anak Barito - MengajarMengajar
Kiprah Ramintje mengajarkan keterampilan kepada orang lain diawali ketika dia diminta Damayasin, istri Camat Mengkatip, untuk melatih anggota PKK setempat pada 1983. Setelah itu, ia—yang masuk dalam tim kelompok kerja PKK yang membidangi masalah keterampilan—sering keluar-masuk desa-desa. Bahkan, sasarannya bukan lagi desa di Kabupaten Barito Selatan, melainkan juga luar kabupaten.
Daerah yang didatangi adalah desa yang memiliki sumber daya alam bahan anyam melimpah, seperti mendong, bamban, dan bambu siren, tetapi warganya tidak memiliki keterampilan menganyam. Sambil membawa contoh rotan, Ramintje bisa bertahan dua-tiga hari di sebuah desa.
Dalam melatih keterampilan menganyam, Ramintje berusaha menyesuaikan dengan kondisi daerah dan masyarakat setempat. Ia menekankan agar masyarakat memanfaatkan bahan yang ada, tidak harus rotan. Begitu pula waktu pelatihan. Jika masyarakat sibuk dan waktu pelatihan hanya satu hari, Ramintje akan membagi waktu 4 jam untuk teori dan 8 jam untuk praktik. Semua itu dilakukan agar pelatihan menjadi efektif.
Aktivitas menularkan ilmu tidak hanya dilakukan saat Ramintje tinggal di Barito Selatan. Setelah pensiun sebagai guru pada 2001, dia memutuskan pindah ke Kuala Kapuas. Di sini Ramintje bertemu Joni, pengusaha swasta dari Jakarta. Joni rupanya mendengar kabar tentang Ramintje dari Dinas Perindustrian Barito Selatan. Ia pun mengajak Ramintje melihat anyaman koleksinya di Jakarta, untuk kemudian meminta Ramintje memberikan pelatihan ke Palu (1999); Kulawi, Sulawesi Tengah (2006); Papua (2003), dan mengikuti studi banding di Australia.
Inovasi
Melatih membuat anyaman ke sejumlah daerah memberikan kesan tersendiri bagi Ramintje. Waktu melatih di salah satu daerah di Papua, misalnya, ada seorang suami yang marah karena mengetahui istrinya tidak ada di rumah. Suami itu kemudian datang ke balai desa tempat latihan sambil membawa parang. Rupanya, sebelum berangkat latihan sang istri tidak sempat pamitan kepada suaminya yang saat itu berada di ladang. Peristiwa seperti itu tidak membuat Ramintje patah semangat.
Begitu pula saat melatih di beberapa desa di Kecamatan Buladangkuh, Kabupaten Kulawi, Sulawesi Tengah. Rupanya, warga di daerah itu belum tahu bagaimana menganyam rotan sehingga perlu diajari cara memotong, membuang buku-buku, membelah, menyerut, hingga menganyam. ”Saat itu, masyarakat tahunya rotan hanya untuk tali tiang rumah,” ujar Ramintje. Dia membagi ilmunya tanpa pamrih.
Sejauh ini, kreativitas Ramintje memang tidak hanya terbatas membuat inovasi bentuk dan motif anyaman. Ia juga berupaya menemukan pewarna alam, salah satunya warna coklat dari daun manggis yang direbus.
Hari-hari Ramintje kini masih disibukkan oleh pesanan. Dibantu suaminya, Demisius P Geger, dan 10 orang anak buahnya, dia menyelesaikan 200-300 anyaman dalam sebulan. Sebagian di antaranya diekspor ke Jepang. Permintaan dari dalam negeri biasanya mengalir dari bank, perusahaan swasta, hingga pemerintah daerah.
Menurut Ramintje, meski sudah terbilang ahli, dirinya tetap turun tangan membuat anyaman. Alasannya, demi kualitas. Ia menekankan dengan keras kepada anak buahnya untuk membuat anyaman berkualitas baik.
Mengenai kondisi rotan di alam, Ramintje merasa prihatin. Ketersediaan rotan semakin menyusut. Ia bersyukur karena ada kebijakan Pemerintah Provinsi Kalteng yang melarang penjualan rotan mentah ke luar daerah. ”Dengan menjual dalam bentuk kerajinan, rotan memiliki manfaat lebih bagi masyarakat setempat,” katanya.

belajar bahasa indonesia

belajar bahasa indonesia

Artikel:
PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH , METAMORFOSIS ULAT MENJADI KEPOMPONG

 

Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa di sekolah. Tak heran apabila mata pelajaran ini kemudian diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA. Dari situ diharapkan siswa mampu menguasai, memahami dan dapat mengimplementasikan keterampilan berbahasa. Seperti membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kemudian pada saat SMP dan SMA siswa juga mulai dikenalkan pada dunia kesastraan. Dimana dititikberatkan pada tata bahasa, ilmu bahasa, dan berbagai apresiasi sastra. Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah absen menemani mereka.

Tetapi, luar biasanya, kualitas berbahasa Indonesia para siswa yang telah lulus SMA masih saja jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.Hal ini masih terlihat dampaknya pada saat mereka mulai mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Indonesia baik secara lisan apalagi tulisan yang klise masih saja terlihat. Seolah-olah fungsi dari pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak terlihat maksimal. Saya penah membaca artikel dosen saya yang dimuat oleh harian Pikiran Rakyat. Dimana dalam artikel tersebut dibeberkan banyak sekali kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para mahasiswa saat penyusunan skripsi. Hal ini tidak relevan, mengingat sebagai mahasiswa yang notabenenya sudah mengenyam pendidikan sejak setingkat SD hingga SMU, masih salah dalam menggunakan Bahasa Indonesia.

Lalu, apakah ada kesalahan dengan pola pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah? Selama ini pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah cenderung konvesional, bersifat hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.

Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD. Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.

Saya mengambil contoh dari data tes yang dilakukan di beberapa SD di Indonesia tentang gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Tes yang digunakan adalah tes yang dikembangkan oleh dua Proyek Bank Dunia, yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) dan juga digunakan dalam program MBS dari Unesco dan Unicef. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%), ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).

Hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih. Sedangkan 64% bisa membaca rapih tetapi tidak bersambung. Perbedaan antarsekolah sangat mencolok. Pada beberapa sekolah kebanyakan anak menulis dengan rapih, sementara yang lain sedikit atau sama sekali tidak ada. Ini hampir bisa dipastikan guru-guru pada sekolah-sekolah yang pertama yang bagus tulisannya secara reguler mengajarkan menulis rapi. Sementara sekolah-sekolah yang belakangan tidak.

Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. 58 % anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus atau sempurna), sementara itu lebih dari 35% kasus anak yang menulis dengan kesalahan tanda baca dan dikategorikan kurang atau sangat kurang.

58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa isi tulisannya yang dinilai baik, yaitu gagasannya diungkapkan secara jelas dengan urutan yang logis. Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis

Alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis karangan dengan kualitas dan panjang yang memuaskan serta dengan menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai ialah anak-anak di banyak kelas jarang menulis dengan kata- kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran. Dari data tersebut menggambarkan hasil dari KBM Bahasa Indonesia di SD masih belum maksimal. Walaupun jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri memiliki porsi yang cukup banyak.

Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Ulat pun masih menjadi kepompong. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP. Bahkan ironisnya, belajar menulis sambung yang mati-matian diajarkan dahulu ternyata hanya sebatas sampai SD saja. Pada saat SMP penggunaan huruf sambung seakan-akan haram hukumnya, karena banyak guru dari berbagai mata pelajaran yang mengharuskan muridnya untuk selalu menggunakan huruf cetak. Lalu apa gunanya mereka belajar menulis sambung?

Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis (mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Dimana seharusnya siswa telah dilatih untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek, puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa.

Beranjak ke tingkat SMA ternyata proses pembelajaran Bahasa Indonesiapun masih setali tiga uang. Sang ulat kini hanya menjadi kepompong besar. Kecuali dengan ditambahnya bobot sastra dalam pelajaran bahasa indonesia, materi yang diajarkan juga tidak jauh-jauh dari imbuhan, masalah ejaan, subjek-predikat, gaya bahasa, kohesi dan koherensi paragraf, peribahasa, serta pola kalimat yang sudah pernah diterima di tingkat pendidikan sebelumnya. Perasaan akan pelajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan siswa begitu monoton, kurang hidup, dan cenderung jatuh pada pola-pola hafalan masih terasa dalam proses KBM.

Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan menulis sukses diterapkan sejak SMP maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi, maupun eksposisi yang diperlihatkan melalui pemuatan tulisan mereka berupa Surat Pembaca di berbagai surat kabar. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek membaca, menulis, dan apresiasi sastra dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis, tanpa beban dan tanpa perasaan takut salah.

Setelah melihat pada ilustrasi dari pola pengajaran tersebut saya melihat adanya kelemahan - kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum sepenuhnya menekankan pada kemampuan berbahasa, namun lebih pada penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pandangan atau persepsi sebagian guru, keberhasilan siswa lebih banyak dilihat dari nilai yang diraih atas tes, ulangan umum bersama (UUB) terlebih lagi pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai itu sering dijadikan barometer keberhasilan pengajaran. Perolehan nilai yang baik sering menjadi obsesi guru karena hal itu dipandang dapat meningkatkan prestise sekolah dan guru. Untuk itu, tidak mengherankan jika dalam KBM masih dijumpai guru memberikan latihan pembahasan soal dalam menghadapi UUB dan UAN. Apalagi dalam UUB dan UAN pada pelajaran bahasa Indonesia selalu berpola pada pilihan ganda. Dimana bagi sebagian besar guru menjadi salah satu orientasi di dalam proses pembelajaran mereka. Akibatnya, materi yang diberikan kepada siswa sekedar membuat mereka dapat menjawab soal-soal tersebut, tetapi tidak punya kemampuan memahami dan mengimplementasikan materi tersebut untuk kepentingan praktis dan kemampuan berbahasa mereka. Pada akhirnya para siswa yang dikejar-kejar oleh target NEM-pun hanya berorientasi untuk lulus dari nilai minimal atau sekadar bisa menjawab soal pilihan ganda saja. Perlu diingat bahwa soal-soal UAN tidak memasukan materi menulis atau mengarang (soal esai).

Peran guru Bahasa Indonesia juga tak lepas dari sorotan, mengingat guru merupakan tokoh sentral dalam pengajaran. Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Harras (1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya . Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru Bahasa Indonesia, menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru Bahasa Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, kosakata, berbicara, membaca, dan kebahasaan .Rupanya guru juga harus selalu melakukan refleksi agar tujuan bersama dalam berbahasa Indonesia dapat tercapai.

Selain itu, siswa dan guru memerlukan bahan bacaan yang mendukung pengembangan minat baca, menulis dan apreasi sastra. Untuk itu, diperlukan buku-buku bacaan dan majalah sastra (Horison) yang berjalin dengan pengayaan bahan pengajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya buku-buku pegangan bagi guru, terutama karya-karya sastra mutakhir (terbaru) dan buku acuan yang representatif merupakan kendala tersendiri bagi para guru. Koleksi buku di perpustakaan yang tidak memadai juga merupakan salah satu hambatan bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah perpustakaan sekolah hanya berisi buku paket yang membuat siswa malas mengembangkan minat baca dan wawasan mereka lebih jauh.

Menyadari peran penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Apabila pola pendidikan terus stagnan dengan pola-pola lama, maka hasil dari pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan bepengaruh banyak. Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Agar proses KBM di kelas yang identik dengan hal-hal yang membosankan dapat berubah menjadi suasana yang lebih semarak dan menjadi lebih hidup. Dengan lebih variatifnya metode dan teknik yang disajikan diharapkan minat siswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan memperlihatkan antusiasme yang tinggi. Selain itu guru hendaknya melakukan penilaian proses penilaian atas kinerja berbahasa siswa selama KBM berlangsung. Jadi tidak saja berorientasi pada nilai ujian tertulis. Perlu adanya kolaborasi baik antar guru Bahasa Indonesia maupun antara guru Bahasa Indonesia dengan guru bidang studi lainnya. Dengan demikian, tanggung jawab pembinaan kemahiran berbahasa tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru Bahasa Indonesia melainkan juga guru bidang lain. Apabila, sistem pembelajaran Bahasa Indonesia yang setengah-setengah akan terus begini, maka metamorfosis sang ulat hanyalah akan tetap menjadi kepompong. Awet dan tidak berkembang karena pengaruh formalin pola pengajaran yang masih berorientasi pada nilai semata.

Senin, 09 April 2012

pendidikan


Deputi VI Menteri Lingkungan Hidup Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat, Ir. Ilyas Asad, MP menyebutkan bahwa program sekolah Adiwiyata sebagai salah satu bentuk pendidikan lingkungan hidup melalui jalur sekolah seyogyanya terus dikembangkan agar menjangkau sekolah-sekolah yang ada di pelosok. Karena itu ke depan pola seleksi Adiwiyata sedapat mungkin secara berjenjang. Artinya, perlu diadakan sekolah Adiwiyata tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Provinsi, dan terakhit tingkat Nasional. Namun apa sebenarnya sekolah Adiwiyata tersebut, berikut kita urai lebih lanjut.
Kata Adiwiyata berasal dari kata Sansekerta ADI dan WIYATA. Adi mempunyai makna: besar, agung, baik, ideal atau sempurna, sedangkan Wiyata bermakna : tempat dimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan, norma, etika dalam berkehidupan sosial. Bila kedua kata tersebut digabung maka secara keseluruhan maknanya adalah tempat yang
baik dan ideal dimana dapat diperoleh segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi daasr manusia menuju terciptanya kesejahteraan hidup kita dan menuju kepada cita-cita pembangunan berkelanjutan.
Tujuan Program Adiwiyata ini adalah untuk menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah (guru, murid dan pekerja lainnya), sehingga upaya-upaya penyelamatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Program ini merupakan salah satu Program Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Program ini digulirkan untuk mengajak warga sekolah berpartisipasi melestarikan dan menjaga lingkungan hidup disekolah dan
lingkungan disekitarnya. Kegiatan utamanya adalah mewujudkan kelembagaan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Program dan kegiatan Sekolah adiwiyata dikembangkan berdasarkan norma-norma dasar dalam kehidupan yang meliputi antara lain :
· Kebersamaan
· Keterbukaan
· Kesetaraan
· Kejujuran
· Keadilan
· Kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Dengan adiwiyata, maka pemerintah telah memberikan penghargaan bahwa sekolah-sekolah telah berhasil mendidik siswa menjadi individu yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Penghargaan adiwiyata bertujuan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan melalui lembaga pendidikan formal mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas se Indonesia. Proses seleksinya didasarkan pada 4 kriteria yang meliputi pengembangan kebijakan sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, pengembangan kurikulum berbasis linkungan, pengembangan kegiatan berbasis partisipatif, dan pengelolaan dan atau pengembangan sarana pendukung sekolah.
Lebih jauh, keberadaan program adiwiyata adalah untuk menciptakan kondisi sekolah dalam peran sebagai tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah sehingga di kemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggung jawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan. Kegiatan utama diarahkan pada terwujudnya kelembagaan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Disamping pengembangan norma-norma dasar antara lain; kebersamaan, keterbukaan, kesetaraan, kejujuran, keadilan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan sumber daya alam. Serta penerapan prinsip dasar yaitu partisipatif, dimana komunitas sekolah terlibat dalam manajemen sekolah yang meliputikeseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sesuai tanggung jawab dan peran, serta berkelanjutan, dimana seluruh kegiatan harus dilakukan secara terencana dan terus menerus secara konperensif.
Indikator dan Kriteria Program Adiwiyata
a. Pengembangan Kebijakan Sekolah peduli dan Berbudaya Lingkungan
Untuk mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan maka diperlukan beberapa kebijakan sekolah yang mendukung terlaksananya kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup oleh semua warga sekolah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Program Adiwiyata yaitu partisipatif dan berkelanjutan.
Pengembangan kebijakan sekolah antara lain
- Visi dan misi sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan.
- Kebijakan sekolah dalam mengembangkan pembelajaran pendidikan lingkungan hidup.
- Kebijakan peningkatan kapasitas SDM (tenaga pendidik dan non-pendidik) di bidang pendidikan lingkungan hidup.
- Kebijakan sekolah dalam upaya penghematan sumber daya alam.
- Kebijakan sekolah yang mendukung terciptanya lingkungan sekolah yang bersih dan sehat.
- Kebijakan sekolah untuk mengalokasikan dana untuk kegiatan yang terkait dengan lingkungan hidup.
b. Pengembangan Kurikulum Berbasis Lingkungan
Penyampaian materi lingkungan hidup kepada siswa dapat dilakukan melalui kurikulum secara terintegrasi atau monolitik. Pengembanagn materi, model pembelajaran, dan metode belajar yang bervariasi dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang lingkungan hidup yang dikaitkan dengan persoalan lingkungan sehari-hari (issue local). Pengembanagn kurikulum tersebut dapat dilakukan dengan cara:
- Pengembangan model pembelajaran lintas pelajaran.
- Penggalian dan pengembangan materi dan persoalan lingkungan hidup yang ada di masyarakat sekitar.
- Pengembangan metoda belajar berbasis lingkungan dan budaya.
- Pengembangan kegiatan kurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang lingkungan.
c. Pengembangan Kegiatan Berbasis Partisipatif
Untuk mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan, warga sekolah perludilibatkan dalam berbagai aktivitas pembelajaran lingkungan hidup. Selain itu sekolah juga diharapkan melibatkan masyarakat sekitarnya dalam melakukan berbagai kegiatan yang memberikan manfaat baik warga sekolah, masyarakat maupun lingkungannya. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain,
- Menciptakan kegiatan ekstrakulikuler/ kurikuler di bidang lingkungan hidup berbasis partisipatif di sekolah.
- Mengikuti kegiatan aksi lingkungan hidup yang dilakukan oleh pihak luar.
- Membangun kegiatan kemitraan atau memprakarsai pengembangan pendidikan lingkungan hidup di sekolah.
d. Pengelolaan dan Pengembangan Sarana Pendukung Sekolah
Dalam mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan perlu didukung sarana dan prasarana yang mencerminkan upaya pengeleloaan lingkungan hidup, antara lain meliputi
- Pengembangan fungsi saranapendukung untuk pendidikan lingkungan hidup.
- Peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan di dalam dan di luar sekolah.
- Penghematan sumber daya alam (listrik air, dan ATK).
- Peningkatan kualitas makanan sehat.
Pada dasarnya program Adiwiyata tidak ditujukan sebagai suatu kompetisi ataulomba. Penghargaan Adiwiyata diberikan sebagai apresiasi kepada sekolah yang mampu melaksanakan upaya peningkatan pendidikan lingkungan hidup secara benar, sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Penghargaan diberikan pada tahapanpemberdayaan (selama kurun waktu kurang dari 3 tahun) dan tahap kemandirian (selama kurun waktu lebih dari 3 tahun). Pada tahap awal, penghargaan Adiwiyata dibedakan atas dua kategori, yaitu
- Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang dinilai telah berhasil dalam melaksanakan Pendidikan Lingkungan Hidup.
- Calon sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang dinilai telah berhasil dalam pengembangan lingkungan hidup.
Tahapan Penghargaan Adiwiyata
Penghargaan Adiwiyata terbagi dalam 3 kategori yaitu Sekolah Adiwiyata Mandiri, Sekolah Adiwiyata, dan Sekolah Calon Adiwiyata. Adiwiyata Mandiri diberikan kepada sekolah-sekolah yang mampu mempertahankan program-program lingkungan hidup mereka selama tiga tahun berturut-turut. Meski demikian pada dasarnya program Adiwiyata tidak ditujukan sebagai suatu kompetisi ataulomba. Penghargaan Adiwiyata diberikan sebagai apresiasi kepada sekolah yang mampu melaksanakan upaya peningkatan pendidikan lingkungan hidup secara benar, sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sebagaimana disebutkan diatas, penghargaan adiwiyata tahapanpemberdayaan (selama kurun waktu kurang dari 3 tahun) dan tahap kemandirian (selama kurun waktu lebih dari 3 tahun). Pada tahap awal, penghargaan Adiwiyata dibedakan atas dua kategori, yaitu 
- Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang dinilai telah berhasildalam melaksanakan Pendidikan Lingkungan Hidup.
- Calon sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang dinilai telah berhasil dalam pengembangan lingkungan hidup.
Capaian Program Adiwiyata
Capaian akhir program adiwiyata adalah diharapkan terbentuk sekolah berwawasan lingkungan. Sekolah berwawasan lingkungan hidup adalah sekolah yang menerapkan nilai-nilai cinta dan peduli lingkungan pada sekolahnya. Pengajaran yang berbasisi lingkungan dan kesadaran warga sekolah akan pentingnya lingkungan merupakan bagian terpenting dari sekolah berwawasan lingkungan hidup. 
Untuk menjadi sekolah yang berwawasan lingkungan hidup bukan hal yang sulit, asalkan ada niat dari warga sekolah. Kita dapat melihat seperti apa sekolah berwawasan lingkungan hidup dari contoh sekolah-sekolah yang sudah mulai menerapkan prinsip peduli dan berbudaya lingkungan. Beberapa aspek sekolah yang berwawasan lingkungan:
1. Kondisi Sekolah
Tata letak sekolah yang rapi dan bersih dari sampah tentu akan dipandang baik dan dapat meningkatkan semangat belajar mengajar. Hal itulah yang menjadi pertimbangan untuk menjadi sekolah berwawasan lingkungan hidup
2. Kawasan Hijau
Kawasan hijau adalah tempat yang disediakan untuk menanam berbagai macam tumbuhan yang biasa disebut taman. Taman sekolah biasanya sering membentuk suatu ekosistem yang berisi berbagai macam tumbuhan. Tumbuhan yang biasa ditanam adalah tumbuhan yang membuat udara sejuk, tanaman obat, dan lain sebagainya. Hal terpenting adalah taman tersebut harus rapi, indah, dan terawat.
3. Kesadaran Warga Sekolah
Kesadaran warga sekolah merupakan faktor terpenting untuk dapat menjadi sekolah berwawasan lingkungan hidup. Karena dengan adanya kesadaran, terciptanya sekolah yang berwawasan lingkungan akan lebih mudah. Semua itu dari warga sekolah itu sendiri. Jika mereka peduli maka sekolah akan bersih terawat sedangkan bila mereka tidak peduli maka sekolah pun akan kotor tak terawat.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk menjadi sekolah yang peduli dan berwawasan lingkungan hidup, diantaranya:
1. Penguatan Kelompok Pecinta Lingkungan
Kelompok pecinta lingkungan adalah sekelompok siswa yang peduli terhadap lingkungan khususnya lingkungan sekolah. Biasanya kelompok tersebut melakukan kegiatan penggunaan kembali (reuse) dari sampah plastik menjadi produk-produk siap pakai seperti tas, dompet, tempat pensil, kartu ucapan, kantong alat mandi, dan sebagainya dengan membekali wawasan dengan mengikuti pelatihan dasar peduli lingkungan. Selain itu, melaksanakan seminar lingkungan di sekolah, dan pameran di dalam dan di luar sekolah guna mengajak warga sekolah untuk menjaga lingkungan khususnya lingkungan sekolah.
2. Pengelolaan Sampah Sekolah
Sampah yang diproduksi oleh warga sekolah terdiri dari sampah kertas, sampah plastik, kaleng minuman, daun-daun, dan sampah basah. Seperti yang kita ketahui bahwa sampah anorganik sulit terurai maka sampah jenis ini dapat dimanfaatkan kembali menjadi barang yang dapat digunakan kembali. Sampah kertas dapat didaur ulang menjadi kertas surat, sampah organik diolah menjadi pupuk, sedangkan sampah plastik diubah menjadi produk-produk yang bermanfaat seperti, tas, dompet, sajadah, tempat pensil, jas hujan, dan lain-lain.
3. Pembudidayaan Tanaman
Pembudidayaan tanaman dilakukan untuk pelestarian lingkungan, selain itu dapat juga untuk media pembelajaran dan pemanfaatan tanaman, misalnya untuk tanaman obat. Salah satu tanaman yang dapat dibudidayakan adalah tanaman obat. Tanaman obat yang dibudidayakan yaitu Toga (tanaman obat) pengusir nyamuk. Pilihan ini dengan mempertimbankan bahwa populasi nyamuk di sekitar sekolah cukup tinggi sehingga kasus DBD cukup tinggi. Toga yang ditanam ialah Lavender, Geranyum, Zodia, dan Rosemary. Lahan yang digunakan merupakan lahan di dalam kawasan sekolah yang, tepatnya di samping kelas. Tujuannya agar siswa mengetahui bahwa banyak manfaat dari tumbuhan yang dapat dengan mudah dikelola oleh siswa itu sendiri.
4. Pengintegrasian Isu Lingkungan Ke dalam Mata Pelajaran
Untuk menanamkan kepedulian pada lingkungan kepada warga sekolah, akan efektif jika melalui mata pelajaran atau kegiatan pembelajaran. Dengan berkembangnya wacana mengenai lingkungan hidup, maka sekolah kemudian memutuskan untuk menyusun sebuah muatan lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa mengenai pendidikan lingkungan hidup.
5. Kampanye Lingkungan
Sebagai kelompok yang peduli lingkungan, kelompok pecinta lingkungan menganggap penting untuk mulai mengampanyekan isu-isu lingkungan. Kegiatan kampanye ini bermaksud untuk menyebarkan benih kesadaran lingkungan kepada berbagai khalayak.
Penutup
Lingkungan dan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari entitas sekolah, semoga tulisan ini menjadi semangat tersendiri bagi kita. Sebuah kepedulian bagi lingkungan yang kita wariskan bagi anak cucu kita
Referensi:
http://www.menlh.go.id/home/
www.bapedalbanten.go.id/i/art/pdf_1146130430.pdf
http://alamendah.wordpress.com/2010/06/17/penghargaan-adiwiyata-2010/ diakses 12 Maret 2011