Selasa, 10 April 2012

menganyam rotan


Penganyam Rotan dari Anak Barito - MengajarMengajar
Kiprah Ramintje mengajarkan keterampilan kepada orang lain diawali ketika dia diminta Damayasin, istri Camat Mengkatip, untuk melatih anggota PKK setempat pada 1983. Setelah itu, ia—yang masuk dalam tim kelompok kerja PKK yang membidangi masalah keterampilan—sering keluar-masuk desa-desa. Bahkan, sasarannya bukan lagi desa di Kabupaten Barito Selatan, melainkan juga luar kabupaten.
Daerah yang didatangi adalah desa yang memiliki sumber daya alam bahan anyam melimpah, seperti mendong, bamban, dan bambu siren, tetapi warganya tidak memiliki keterampilan menganyam. Sambil membawa contoh rotan, Ramintje bisa bertahan dua-tiga hari di sebuah desa.
Dalam melatih keterampilan menganyam, Ramintje berusaha menyesuaikan dengan kondisi daerah dan masyarakat setempat. Ia menekankan agar masyarakat memanfaatkan bahan yang ada, tidak harus rotan. Begitu pula waktu pelatihan. Jika masyarakat sibuk dan waktu pelatihan hanya satu hari, Ramintje akan membagi waktu 4 jam untuk teori dan 8 jam untuk praktik. Semua itu dilakukan agar pelatihan menjadi efektif.
Aktivitas menularkan ilmu tidak hanya dilakukan saat Ramintje tinggal di Barito Selatan. Setelah pensiun sebagai guru pada 2001, dia memutuskan pindah ke Kuala Kapuas. Di sini Ramintje bertemu Joni, pengusaha swasta dari Jakarta. Joni rupanya mendengar kabar tentang Ramintje dari Dinas Perindustrian Barito Selatan. Ia pun mengajak Ramintje melihat anyaman koleksinya di Jakarta, untuk kemudian meminta Ramintje memberikan pelatihan ke Palu (1999); Kulawi, Sulawesi Tengah (2006); Papua (2003), dan mengikuti studi banding di Australia.
Inovasi
Melatih membuat anyaman ke sejumlah daerah memberikan kesan tersendiri bagi Ramintje. Waktu melatih di salah satu daerah di Papua, misalnya, ada seorang suami yang marah karena mengetahui istrinya tidak ada di rumah. Suami itu kemudian datang ke balai desa tempat latihan sambil membawa parang. Rupanya, sebelum berangkat latihan sang istri tidak sempat pamitan kepada suaminya yang saat itu berada di ladang. Peristiwa seperti itu tidak membuat Ramintje patah semangat.
Begitu pula saat melatih di beberapa desa di Kecamatan Buladangkuh, Kabupaten Kulawi, Sulawesi Tengah. Rupanya, warga di daerah itu belum tahu bagaimana menganyam rotan sehingga perlu diajari cara memotong, membuang buku-buku, membelah, menyerut, hingga menganyam. ”Saat itu, masyarakat tahunya rotan hanya untuk tali tiang rumah,” ujar Ramintje. Dia membagi ilmunya tanpa pamrih.
Sejauh ini, kreativitas Ramintje memang tidak hanya terbatas membuat inovasi bentuk dan motif anyaman. Ia juga berupaya menemukan pewarna alam, salah satunya warna coklat dari daun manggis yang direbus.
Hari-hari Ramintje kini masih disibukkan oleh pesanan. Dibantu suaminya, Demisius P Geger, dan 10 orang anak buahnya, dia menyelesaikan 200-300 anyaman dalam sebulan. Sebagian di antaranya diekspor ke Jepang. Permintaan dari dalam negeri biasanya mengalir dari bank, perusahaan swasta, hingga pemerintah daerah.
Menurut Ramintje, meski sudah terbilang ahli, dirinya tetap turun tangan membuat anyaman. Alasannya, demi kualitas. Ia menekankan dengan keras kepada anak buahnya untuk membuat anyaman berkualitas baik.
Mengenai kondisi rotan di alam, Ramintje merasa prihatin. Ketersediaan rotan semakin menyusut. Ia bersyukur karena ada kebijakan Pemerintah Provinsi Kalteng yang melarang penjualan rotan mentah ke luar daerah. ”Dengan menjual dalam bentuk kerajinan, rotan memiliki manfaat lebih bagi masyarakat setempat,” katanya.

28 komentar:

  1. perlu saran dan kritik dari anda,,, :')

    BalasHapus
  2. Percaya deh..
    Yang pengusaha rotan..
    Hahahha.. :p

    BalasHapus
  3. kalau pengen usaha ,
    ya usaha rotan ajja ndin.
    ha,,ha,,ha

    BalasHapus
  4. ayog blajar berbisnis rotan,,

    BalasHapus
  5. belajar menganyam itu hal yang sangat menyenangkan,,

    BalasHapus
  6. blog ini mengenai menganyam rotan

    BalasHapus
  7. ayog bersama menganyam rotan

    BalasHapus